Sebagian ulama membagi dzikir menjadi dua yaitu: dzikir dengan lisan, dan dzikir di dalam hati. Dzikir lisan merupakan jalan yang akan menghantar pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas, sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham.
Imam Al Qusyairi mengatakan: "Jika seorang hamba berdzikir dengan lisan dan hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah lakunya."
Dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat dihadapan-Nya. Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa (fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti menghubungkan dengan sumber kehidupan ( Al Hayyu).
Sabda Rasulullah SAW: "Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang yang hidup dengan orang yang mati." (HR. Bukhari)
Itulah gambaran dzikir yang dituturkan Rasulullah Saw. Bahwa dzikir kepada Allah itu bukan sekedar ungkapan sastra, nyanyian, hitungan-hitungan lafadz, melainkan suatu hakikat yang diyakini didalam jiwa dan merasakan kehadiran Allah disegenap keadaan, serta berpegang teguh dan menyandarkan kepada-Nya hidup dan matinya hanya untuk Allah semata.
Firman Allah :
"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (jiwamu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (Qs Al A'Raaf:205)
Aku hadapkan wajahku kepada wajah yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus. Aku bukanlah orang yang berbuat syirik, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku kuserahkan (berserah diri) kepada Tuhan sekalian Alam ...
Adapun hitungan-hitungan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca Al Qur'an, shalat, haji, zakat, dll, merupakan bagian dari sarana dzikrullah, bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada dzikir dan tidak ada nilai yang lebih berharga dari usaha menghadirkan Allah dalam hati, bersujud karena keagungan-Nya, dan tunduk kepada semua perintah-Nya serta menerima setiap keputusan-Nya Yang Maha Bijaksana.
Dzikir berarti cinta kepada Allah, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi diatas kecintaan kepada Allah ..., maka berdzikirlah kamu (dengan menyebut ) Allah, sebagaimana kamu ingat kepada orang tua kalian, atau bahkan lebih dari itu ... (Al Baqarah: 200)
"Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (Qs. At Taubah:24 )
Dzikrullah Merupakan Rohnya Seluruh Peribadatan
Pada tatanan spiritualitas Islam, dzikrullah merupakan kunci membuka hijab dari kegelapan menuju cahya Ilahy. Al Qur'an menempatkan dzikrullah sebagai pintu pengetahuan makrifatullah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran 190-191.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka"
Kalimat "yadzkurunallah" orang-orang yang mengingat Allah, didalam 'tata bahasa arab' berkedudukan sebagai ma'thuf (tempat bersandar) bagi kalimat-kalimat sesudahnya, sehingga dzikrullah merupakan dasar atau azas dari semua perbuatan peribadatan baik berdiri, duduk dan berbaring serta merenung (kontemplasi). Dengan demikian praktek dzikir termasuk ibadah yang bebas tidak ada batasannya. Bisa sambil berdiri, duduk, berbaring, atau bahkan mencari nafkah untuk keluarga sekalipun bisa dikatakan berdzikir, jika dilandasi karena ingat kepada Allah. Juga termasuk kaum intelektual yang sedang meriset fenomena alam, sehingga menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi seluruh manusia.
Dzikrullah merupakan sarana pembangkitan kesadaran diri yang tenggelam, oleh sebab itu dzikir lebih komprehensif dan umum dari berpikir. Karena dzikir melahirkan pikir serta kecerdasan jiwa yang luas, maka dzikrullah tidak bisa hanya diartikan dengan menyebut nama Allah, akan tetapi dzikrullah merupakan sikap mental spiritual mematuhkan dan memasrahkan kepada Allah Swt.
Dzikrullah (khutbah Jum’at, 08/04/11)
Unknown ,
Label:
04. Islami
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Comments :
Posting Komentar